Sebuah Kisah Singkat tentang Pengendalian diri dan Keteraturan Hidup.
Disebuah Jalan Perempatan. Dari kejauhan, Lampu lalu-lintas dirute ia berjalan masih menyala hijau. Andi segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia dikejar waktu. Sehingga ia putus kan terus menancap gas, sebab bila tidak, itu berarti dia harus menunggu cukup lama lampu merah dirute nya kembali hijau.
Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning. Hati Andi sedikit berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Andi bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "halah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak”, pikirnya sambil terus melaju.
Priiiirittt!!!!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya kepinggir dan berhenti. Andi menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu kan Rudi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Andi tampak agak lega..
Ia melompat keluar mobil, sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Rud. Senang sekali ketemu lu lagi!”
“Hai, Andi.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya gue kena tilang nih? gue emang agak buru-buru.
Istri gue sedang menunggu di rumah”.
“Oh ya?” Tampaknya Rudi agak ragu.
“Rud, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu gue gak boleh terlambat dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikan mu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
"Oooo" Sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Andi berganti strategi.
“Jadi, lu mau nilang gue rud? Sumpah, tadi gue gak lewatin lampu merah. Sewaktu gue lewat tuh lampu kuning masih nyala.” (Ah, terkadang boong dikit bisa memperlancar keadaan, pikirnya).
“Ayo dong Andi ngaku. Tadi kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”
Dengan ketus Andi menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Rudi menulis sesuatu di buku tilangnya.
Beberapa saat kemudian Rudi mengetuk kaca jendela.
Andi memandangi wajah Rudi dengan penuh kecewa.
Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang.
Tanpa berkata-kata Rudi kembali ke posnya.
Andi mengambil surat tilang yang diselipkan Rudii di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Rudi.
“Halo Andi, Tahukah kamu ndi, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada dan tak akan pernah kembali. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Andi. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Rudi)”.
Andi terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Rudii. Namun, Rudi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan..
Tak selamanya pengertian kita harus sama dgn pengertian orang lain.
Bisa jadi SUKA kita tak lebih dari DUKA rekan kita.
Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
. . .
================================
Tidak Perduli dengan apa yang mereka katakan ..
Tidak Perduli dengan apa yang mereka lakukan ..
Tidak Perduli dengan apa yang mereka tahu ..
Selamanya percaya "Siapakah Kita" ..
Tidak ada hal yang Penting..
No comments:
Post a Comment